Home

Selasa, 01 Maret 2016

Mendidik anak di Era Digital

Resume Isi Pengajian Ust Fauzil Adhim di Masjid Alghifari Malang, kemarin (malam ahad) 20 peb 2016 ba'da maghrib.

💭 Mendidik Anak di Era Digital
👳 Ustadz Fauzil Adhim
📆 11 Jumadil Ula 1437 H/20 Februari 2016

📱Diantara hal yg melalaikan yaitu gadget. Menyebabkan kerenggangan hubungan suami istri. Satu rumah tapi jarang komunikasi, bahkan tidak jarang omongan pasangan lebih di"dengar" jika via WhatsApp.

Bahkan di jepang trotoar dibagi menjadi 2 jalur, jalur kanan dan jalur kiri. Jalur kanan untuk orang waras. Jalur kiri untuk orang tidak waras, yang jika berjalan sambil bergadget, jika mereka bertabrakan atau gadgetnya terinjak, tidak boleh marah.

Sudah banyak anak-anak yang kecanduan gadget. Di Jepang ribuan anak kecanduan internet. Di Korea Selatan 2,5 juta anak (bahkan diantaranya adalah anak usia 3 tahun) terkena digital addiction.

Kok bisa sih? Karena banyak orang tua yang gak kepingin repot. Agar anak anteng dan tidak annoying diberi gadget. Alhasil ketika remaja mereka mulai menjauh, mereka mulai punya teman, tidak sedikit orang tua yang pusing karena anak tidak dekat dengan mereka, jadi jarang di rumah. Salah sendiri dulu ketika kecil mereka ingin mendekat malah diusir.

Banggalah jika di rumahmu tidak ada tv. Meski tetangga punya tv tapi ketika di rumah tidak ada tv, tidak ada kekaguman terhadap orang yang muncul di tv, maka hati kita akan mati dari tv, tidak ada keinginan untuk menonton.

📱Di Hongkong ada yang namanya gadgedholic. Ada perasaan tidak nyaman jika tidak memegang hp padahal hp yg dipegang mati. Selalu update hp jenis baru. Padahal baru membeli hp, belum dipakai, tetapi ada antrian iphone 6, hp yang baru dibeli tadi dijual.

ICT (information communication technology) baru akan berfungsi dengan baik jika anak-anak sudah dipersiapkan dengan baik. Dipersiapkan apa saja? Banyak! Kerangka berpikirnya, idealisme mereka, dasar-dasar komunikasi mereka dengan orang tua dan keluarganya, dll. Jadi ketika suatu hari nanti dia memegang gadget, dia sudah tau kebutuhannya, dia tidak akan mencari-cari hal/info yang tidak perlu.

Di internet ada yang namanya jejak rekam. Apa saja yang kita lakukan/kita cari sejak awal membuat akun di internet semua terekam. History hanya menghapus data di gadget kita, tapi footprint tetap ada.

Jaman sekarang banyak anak-anak pacaran online. Makanya tidak cukup hanya nge"friend" dengan anak, kalau perlu kita share password fb dengan anak untuk lebih mudah mengawasi. Jika hanya kita yang minta password nanti bs diduga mencurigai, tapi jika sharing artinya kita fair.

Sekarang ini gadget adalah pusat hiburan. Jangan sampai kita dengan suami/istri senyum bareng tapi tidak senyum bersama, karena masing-masing sibuk dengan gadgetnya. Tinggalkan grup-grup alumni, biasanya disitu banyak hal aneh-aneh, jika ingin tetap berkomunikasi dengan teman bisa lewat japri.

Sekedar membatasi gadget secara fisik tidaklah cukup. Kita perlu imunisasi jiwa dan keimanan mereka.

Sebagian anak merasa risih jika orang tua memuji mereka di media sosial. Ketahuilah, jika hubungan antara orang tua dan anak dekat, pujian itu tidak perlu. Yang paling penting sebenarnya adalah feedback, karena itu adalah tanda kepedulian. Tanggapi apa yang dia sampaikan. Jangan sampai kita memuji "maa syaa Allah anakku cerdas" cerdas apanya? Dijawab "Allahu a'lam" 😓

Upaya minimal yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak-anak agar tidak melihat pornografi dalam bentuk iklan di situs internet adalah langsung melaporkan / setting agar iklan tersebut tidak muncul. Jangan pernah klik tautan-tautan tidak jelas.

Langkah yang bisa diambil adalah internetan di rumah, agar kita bisa ikut mengontrol. Dan yang paling penting adalah membangun orientasi anak. Jika anak sudah tahu, akan lebih mudah mencari apa yang mereka perlukan.

Kadangkala sekolah maksudnya modern dengan memberi pe-er ask mbah gugel. Tapi itu sebenarnya sama saja pembodohan anak. Sama saja seperti memberi PR matematika yang menjawab ibunya tapi yang menulis anaknya. Nilai PR bagus, ulangan anjlok karena dia tidak pernah mengerjakan sendiri. PR seperti ini menghilangkan kemampuan klasifikasi anak, kemampuan discovery.

Google membuat orang males berpikir, jangankan anak-anak, orang dewasa pun demikian. Syaikh Google. Ilmuwan Google. 
Google itu tidak Maha Tahu. Untuk bertanya pada Google butuh ilmu jika tidak ingin tersesat sesesat-sesatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar